Hal yang dialami manusia dapat dibiarkan berlalu tanpa makna atau sebaliknya, diingat. Yang lebih dari diingat adalah menjadikan hal tersebut pelajaran. Yang lebih lagi dari dijadikan pelajaran adalah epifani. Epifani menjadikan suatu hal atau peristiwa sebagai titik balik dari individu. Entah ke arah lebih baik atau lebih buruk, namun yang terjadi adalah perubahan cara pandang dan kemudian dapat mengubah bagaimana seorang individu menyikapi kehidupan.
Menurut Abraham Maslow manusia memiliki 5 tingkatan hierarki kebutuhan, yaitu: fisiologikal, keamanan, sosial, harga diri, dan aktualisasi diri. Untuk mencapai tingkatan paling tinggi ini dibutuhkan epifani yang melibatkan perasaan transenden dan pencerahan yang mendalam. Itu katanya.
Setelah apa yang dilalui selama 19 tahun ini, rasanya saya sudah mengerti sebagian besar hal yang terjadi dalam hidup saya. Jika dulu dominan menggunakan perasaan, sekarang mulai berpikir lebih jauh. Tentang masa depan juga. Ya, saya merasa ini sudah saatnya. Sampai kapan saya mau menjadi anak kecil? Bahkan orang tua saya pun sudah beranjak tua dalam arti sebenarnya, mengapa saya menunda untuk mulai berpikir serius dan mengesampingkan hal yang menghambat saya untuk maju.
Beberapa pertanyaan mulai terjawab. Penyangkalan berganti dengan penerimaan apa adanya. Saya tidak sempurna, tapi saya juga tidak ingin menyempurnakan. Asal seimbang itu sudah cukup. Saya masih benci orang-orang tertentu, tapi saya masih menghargai. Tidak ada habisnya kalau saya ingin semua hal terjadi sesuai keinginan, maka saya ingin menerima semua hal dengan tangan terbuka. Memang harus mulai memikirkan orang lain, jangan egois dan terpusat pada diri sendiri.
Jadi walaupun masa depan saya belum jelas dan belum pasti, apa yang saya lakukan saat ini harus memiliki arti untuk masa depan saya. Penting diingat untuk selalu jujur dan tidak mementingkan materi. Saya tidak serendah itu.
Tulisan adalah deskripsi dari karya
Epifani
Aulia Ardista
Kolase digital
21 x 14,8 cm
2012