Pendidikan Seni

23:57

Tulisan ini dibuat bukan untuk mengkritisi pendidikan seni dalam jenjang universitas karena saya sendiri tidak memiliki latar belakang dalam bidang seni, melainkan desain. Namun sudah tentu kedua bidang tersebut masih bersinggungan, ditambah ketertarikan pribadi saya terhadap bidang seni itu sendiri. Lalu mengapa saya tidak memilih seni untuk studi utama? Karena saya sebatas ingin menjadi penikmat dan berkarya sebagai wujud ekspresif, tidak bertujuan profit ataupun profesi. Menurut saya ketika kesukaan menjadi keharusan bahkan tuntutan, kesenangan yang didapat akan semakin hilang.

Kembali pada topiknya, pendidikan seni yang saya maksud adalah pendidikan seni usia dini, dalam artian rentang usia TK sampai SD. Kebetulan saya juga memiliki minat di bidang pendidikan, sehingga menggabungkan keduanya bisa jadi hal yang sangat menyenangkan. Ternyata pendidikan seni yang sering diabaikan tidak hanya dialami di Indonesia, tapi juga di banyak negara lainnya. Saya membaca buku Why Our Schools Needs The Arts yang memaparkan pentingnya pendidikan seni untuk anak, manfaat untuk tumbuh kembang, sampai alasan-alasan klise mengapa hal ini sering diabaikan.


Bagian pertama dari buku ini mengulas berbagai jenis pendidikan seni yang ada dalam suatu institusi. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut.

Arts Based
Seni difungsikan sebagai alat pembantu untuk mata pelajaran lainnya, sehingga konten mengikuti mata pelajaran bersangkutan

Arts Integrated
Seni terkait dengan mata pelajaran, misalnya dalam bentuk praktek

Arts Infused
Penyertaan media seni atau pelaku seni yang dapat membantu proses belajar mengajar

Arts Included
Seni sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri dan terintegrasi dalam kurikulum

Arts Extras
Seni sebagai kegiatan tambahan di luar jam sekolah (ekstrakurikuler atau les)

Arts Proffesional
Seni adalah tinjauan utama dalam pendidikan dengan orientasi karir dalam bidang seni

Lalu apa yang membuat masyarakat awam keberatan dengan pendidikan seni? Poin di bawah ini dapat merangkum keraguan masyarakat akan pendidikan seni.

Value
Kata orang seni itu memang indah dan bernilai, tapi apakah itu penting? Karena nilai atau value dianggap tidak nyata sehingga tidak penting. Tapi mari dilihat lebih lanjut, apakah definisi nyata? Menurut saya, nyata adalah apa yang berada dalam pikiran karena toh hal-hal duniawi pada akhirnya semuanya berujung pada kematian atau kehancuran, sedangkan idea tetap lekang. Lihat saja bagaimana karya-karya seniman dengan harga sangat tinggi di museum atau bagaimana tak lekangnya buku-buku cerita klasik. Karena ada pesan yang disampaikan disana dan hidup selamanya.

Talent
Pelajaran seni hanya menyusahkan anak-anak yang tidak memiliki bakat. Padahal bukan begitu. Tujuan pendidikan seni disini tentu saja untuk mengasah kreativitas anak. Dalam kreativitas tidak ada benar dan salah, yang ada hanya bagaimana caranya agar anak dapat mengembangkan imajinasi seluas mungkin dan berani mencipta. Kalaupun anak tersebut tidak ingin mengambil seni sebagai studi lanjutnya, pendidikan seni tersebut telah melatih berkembangnya otak kanan, sehingga berkaitan dengan semua aspek di kehidupan.

Time
Orientasi pendidikan, terutama di Indonesia, pada Ujian Nasional membuat sekolah hanya mengajarkan mata pelajaran yang dianggap krusial untuk nilai anak. Ini adalah sistem pendidikan yang salah dan karenanya tidak menarik untuk saya bahas lebih lanjut.

Measurement
Tidak ada hal yang baku dalam penilaian seni. Hal ini dapat diatasi dengan memilih jenis pendidikan seni yang cocok dalam institusi berkaitan.

Expertise
Pendidikan seni membutuhkan spesialis. Menurut saya ini benar, namun tidakkah spesialis tersebut tidak begitu spesial lagi karena tentunya sudah banyak orang yang memiliki latar belakang pendidikan seni? Saya dan beberapa mahasiswa FSRD ITB sendiri pernah mendapat tawaran untuk mengajar kelas seni tambahan sepulang sekolah di sebuah TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an). Terus terang saya sangat kagum dengan pemikiran guru di TPA tersebut yang mengatakan bahwa, "Tidak semua orang bisa mengajarkan seni, tapi semua yang mengerti seni pasti bisa mengajar mata pelajaran lainnya untuk SD." Hal ini tentu saja menguatkan statement di atas.

Autonomy
Tidak ada pendidikan seni pun, anak yang memiliki minat seni akan tetap terarahkan dan seni telah memiliki komunitasnya masing-masing. Tentu saja pendapat ini sangat apatis, dalam kehidupan selalu ada kesinambungan dalam segala hal.

Beruntung sekali saya sempat bersekolah di SD dengan pendidikan seni - lebih dikenal sebagai mata pelajaran KTK - yang baik. Banyak manfaat yang saya rasakan terutama, saya sebagai anak kecil merasa senang dengan kegiatan tersebut. Sangat menghibur di sela-sela pelajaran yang mengharuskan memakai otak kiri. Dalam buku Why Our Schools Need The Arts juga dijabarkan manfaat pendidikan seni usia dini. Contoh disini adalah pola pikir yang dapat dibentuk dari pendidikan tersebut.

Tangible Product
Imagination: "What if"
Agency: "I matter"

Focus on Emotion
Expression: "This is how I feel"
Empathy: "This is how you feel"

Ambiguity
Interpretation: "What I think matters"
Respect: "What others think matters"

Process Orientation
Inquiry: "What do I want to know"
Reflection: "How am I doing and what will I do next"

Connection
Engagement: "I care"
Responsibility: "I care for others"

Saya memiliki harapan agar pendidikan seni tidak sering disalah artikan sebagai menggambar atau menyanyi saja. Mungkin ada baiknya jika disebut pendidikan kreativitas. Karena disini yang dilatih adalah bagaimana anak dapat mengembangkan pemikirannya dan menyampaikannya lewat media seni dengan sebebas-bebasnya.  Tidak ada kata salah yang membuat anak takut untuk berekspresi. Anak juga menjadi lebih peka. Dengan lebih peka, anak dapat menyelesaikan masalah bukan hanya berdasarkan benar atau salah, melainkan baik atau tidak. Dengan kepekaan ini, bidang apapun nantinya yang menjadi minat anak dapat dikenali dengan lebih baik.


Tulisan terinspirasi dari buku
Why Our Schools Need The Arts
Jessica Hoffmann Davis
Teachers College Press

You Might Also Like

0 comments