Perpaduan Aspek Ergonomi dan Semantik pada Desain Kursi Ikonik Masa Postmodern

21:35

PENDAHULUAN
Mebel merupakan produk yang personal. Memilih mebel bukan hanya soal fungsi, tapi juga tampilan dan selera. Mebel adalah bagian esensial dari interior ruangan. Mebel berperan sebagai perantara antara manusia dan ruang. Oleh karena itu, pemilihan mebel yang disesuaikan dengan gaya interior, dapat disesuaikan dengan kepribadian.

Salah satu mebel yang memiliki peran penting dalam kehidupan manusia adalah kursi. Kursi menjadi penting karena di zaman modern ini sebagian besar aktivitas manusia dilakukan dengan duduk. Duduk saat makan, duduk saat menunggu, duduk saat di kendaraan, duduk saat bekerja, dan banyak kegiatan lainnya. Manusia sudah berubah menjadi homo sedens. Maka tidak heran jika desain sarana duduk selalu berkembang.



ASPEK ERGONOMI: ANATOMI KURSI

Kata duduk tidak bisa diartikan dalam satu artian saja. Selain duduk tegak, dikenal juga duduk jongkok (deep squat), duduk melipat kaki ke dalam (cross-legged sitting), duduk bersimpuh, dan banyak lagi. Posisi duduk manusia akan berubah mengikuti aktivitas dan budayanya. Misalnya saja saat duduk di tegak di kursi kerja, ketika lelah backrest dapat dimundurkan ke belakang. Dari segi budaya, di Barat budaya makan selalu identik dengan duduk bersama di depan meja makan, sedangkan di Timur ada budaya duduk di lantai atau lesehan. Untuk mengakomodasi setiap kegiatan duduk dibuatlah sarana duduk dengan berbagai variasi.

Untuk membuat sarana duduk yang nyaman harus melihat faktor aktivitas apa saja yang dilakukan manusia saat duduk. Pada posisi duduk, tubuh tidak lagi disangga oleh kaki walaupun kaki menapak lantai, tapi disangga oleh tulang Ischial tuberosities pada pelvis yang langsung bersentuhan dengan kursi. Titik berat berada di bagian tersebut yang kemudian diseimbangkan oleh tulang belakang. Maka pada posisi duduk kerap kali terjadi pembebanan otot secara statis.

Dari analisa aktivitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain kursi adalah: tinggi alas duduk (seat height), kedalaman alas duduk (seat depth), sandaran duduk (backrest), lebar alas duduk (seat width), sandaran lengan (armrest) sudut sandaran, dan sudut alas duduk (Pheasant, 1988). Faktor ini memiliki ukuran-ukuran standar yang disebut antropometri.

Tidak berarti setelah mengikuti antropometri, kursi akan menjadi sempurna, karena tetap harus disesuaikan dengan segmen pengguna. Biasanya para desainer menggunakan sistem persentil, karena tidak mungkin setiap orang diukur antropometrinya. Yang menarik adalah metode pengukuran proporsi Danish Alenmal yang banyak dipakai di Eropa. Standar yang digunakan adalah perbandingan, bukan angka tetap, sehingga dapat menyesuaikan. Pengukuran ini dimulai dari mengukur ukuran kepala. Umumnya tinggi bada orang Asia mencapai 6-7 kali ukuran kepala. Dari sini dapat diukur perbandingan untuk kursi yang paling nyaman untuk diri sendiri. Tinggi posisi duduk adalah ¾ tinggi badan keseluruhan, tinggi sandaran punggung 3 kali kepala, sedangkan tinggi kaki kursi 2 kepala. Dengan pengukuran dan analisa aktivitas yang baik, diharapkan kursi bukan saja menunjang kebutuhan manusia tapi juga sesuai untuk digunakan di lingkungannya.



ASPEK SEMANTIK: KONSEP DAN PEMAKNAAN
Dahulu produk digunakan untuk menggali sisi spiritualitas, sedangkan sekarang lebih mengarah ke kepribadian dan status. Tapi pada dasarnya adalah sama, yaitu manusia tidak sekedar menggunakan produk, tapi juga memaknainya. Ada produk-produk yang memiliki keterikatan personal dengan penggunanya.

Semantika adalah bahasa dari desain. Setelah menggali aspek hubungan antara objek-manusia lewat ergonomi, semantika berfungsi agar objek dapat menarik perhatian manusia dan mempermudah pengertian manusia akan objek tersebut. Konsep desain menjadi kekuatan tersendiri. Tanpa konsep, produk yang dihasilkan seperti tidak memiliki ruh. Melalui konsep, dari produk pun, seorang desainer dapat menyampaikan pesan.



DESAIN PADA MASA POSTMODERN
Istilah postmodern pertama kali diperkenalkan oleh Jean-Francois Lyotard, seorang filsuf asal Perancis. Periode ini merupakan kelanjutan dari periode modern dan merupakan bentuk kritik terhadap gaya modern. Periode ini berlangsung pada tahun 1970-1990 (Juniarto, 2011). Pada periode ini terjadi perubahan dari karakter form follows function menjadi form follows fun. Seorang desainer tidak hanya mendesain produk yang baik, namun juga memiliki konsep yang kuat.

Sesuai karakternya, desain pada periode ini mulai bermain-main dari segi bentuk maupun material, tanpa meninggalkan bentuk dasar. Seseorang akan tetap mengenali produk tanpa kerancuan. Elemen yang ditambahkan bukan sekedar dekoratif, seperti gaya antik, tapi lebih ke arah penambahan makna. Bedanya dengan gaya kontemporer adalah gaya tersebut merupakan wujud kebebasan berekspresi desainer secara gamblang. Gaya postmodern mempunyai tanda-tanda sebagai berikut: (1) berkode ganda; (2) berbentuk semiotika; (3) rumit/kompleks; (4) punya arti semiotika-semantik; (5) menggunakan hiasan; (6) metafora; (7) simbolik; (8) berfungsi campuran; dan (9) konstektual (Jencks, 1989).

Salah satu tokoh Postmodern adalah Ettore Sottsass, seorang desainer gaya Memphis yang populer lewat Carlton, sebuah produk rak buku yang dianggap mendobrak standar desain rak pada saat itu. Ergonomi yang ditawarkannya tidak biasa namun masuk akal, seperti karakter mebel postmodern pada umumnya. Kebanyakan karya desainnya berupa rak, meja, dan kerajinan keramik sehingga tidak dibahas disini.

Beberapa kursi ikonik pada masa ini adalah sebagai berikut.




Marilyn Chair, Arata Isozaki (1970)
Kursi ini akan langsung menarik perhatian karena backrest-nya yang tidak biasa. Backrest dibuat sangat tinggi agar pengguna dapat mengistirahatkan kepala dengan nyaman. Bahkan pengguna dapat menaruh tangan dengan posisi ke atas dan mengistirahatkannya. Mengangkat kedua tangan setelah mengalami kelelahan dikenal sebagai posisi relaksasi.



Wiggle Side Chair, Frank O. Gehry (1972)
Kursi ini merupakan perwujudan dari eksplorasi material. Kursi tekesan rapuh sekaligus kuat karena Gehry menggunakan material cardboard yang dilengkungkan. Material ini belum lazim digunakan pada saat itu. Bagian melengkung bisa jadi menghalangi kaki, namun bisa juga digunakan sebagai pijakan kaki. Jika ditidurkan, kursi dapat menjadi sarana duduk untuk di lantai.



Proust Armchair, Alessandro Mendini (1978)
Merupakan salah satu ikon desain postmodern yang paling dikenal. Bentuk kursi terkesan mewah dan ekslusif, namun warna yang dipakai terkesan atraktif dan cenderung playful. Konsep ini dipakai untuk merepresentasikan dualisme dalam desain. Pewarnaan menggunakan kuas dengan gaya impresionis. Kursi berfungsi untuk istirahat, dilihat dari teksturnya yang empuk dan terdapat armrest.



Thatsit Balans, Peter Opsvik (1982)
Beragamnya posisi duduk manusia menjadi ide dasar pembuatan kursi ini. Pengguna dapat memvariasikan posisi duduknya sesuai kebutuhan, sampai bentuk duduk yang ekstrim sekalipun, tanpa takut terjatuh. Seperti namanya, keseimbangan adalah salah satu aspek yang menjual dari produk ini. Kursi sengaja didesain tanpa senderan agar dapat berasosiasi dengan mebel lain dengan baik dalam suatu ruangan.



Stiletto, Frank Schreiner (1983)
Kursi ini sangat simbolis. Siapapun pasti mengenali bentuk kursi yang mengadaptasi bentuk shopping cart, tanpa meninggalkan sisi ergonomis. Hal ini dapat dilihat dari bentuk backrest yang melengkung, armrest, dan footrest. Alas duduk juga dibuat sedikit melengkung agar nyaman di bagian betis.



First Chair, Michele De Lucchi (1983)
Desain tampilan pada kursi ini sangat berkesan Memphis, dengan mempergunakan pola visual yang kontras dengan bentuk dasar. Ekspresi yang didapat adalah emosional. Kursi lebih terlihat seperti stool, karena backrest dan armrest yang jaraknya jauh, seakan hanya sebagai hiasan.



Embryo Chair, Marc Newson (1988)
Walaupun terlihat eksrim, permukaan kursi ini sangat mengikuti kontur tubuh. Pengguna dapat beristirahat dengan nyaman di atasnya. Tulang pelvis tersangga dengan baik di bagian belakang. Bentuknya menyerupai embrio, yaitu bayi yang belum lahir.



Favela Chair, The Compana Brothers (1991)
Sekilas terlihat tidak rata, namun ternyata permukaan kursi ini rata dan cukup nyaman. Ada sedikit tipuan psikologis di dalamya. Kursi memadukan potongan-potongan kayu dalam satu bentuk. Meskipun bentuknya sederhana, ada sentuhan aksen detail yang baik pada kursi ini.



Knotted Chair, Marcel Wander (1996)
Wander merespon kebutuhan manusia akan sarana duduk yang empuk dengan membuat kursi dari material nylon fiber yang dirajut. Tentu saja alas duduk akan memberikan kenyamanan tersendiri karena dapat menyesuaikan dengan kontur tubuh pengguna. Untuk meningkatkan kenyamanan, backrest dibuat tinggi dan tinggi kursi dibuat rendah agar kaki bisa berselonjor. Kursi jadi berkesan natural dan simpel.



La Marie, Philippe Starck (1998)
Konsep yang diusung pada kursi ini adalah anti-desain, dimana kursi harus sesimpel mungkin. Starck ingin kursi ini dapat beradaptasi dengan segala jenis ruangan dan mengikuti warna interiornya. Maka warna dibuat transparan dari single molded polycarbonate. Antropometri yang ditampilkan benar-benar sesuai standar tanpa modifikasi lagi, agar kesan anti-desain semakin kuat.



SIMPULAN
Perpaduan antara keilmuan ergonomi dan semantika dapat menjadikan suatu produk lebih hidup. Keduanya mengkombinasikan bagaimana manusia berinteraksi dengan benda maupun bagaimana benda berinteraksi dengan manusia. Walaupun produk adalah benda mati, namun manusia sebagai desainer dapat membuatnya berbicara dalam berbagai bahasa sekaligus membantu mempermudah kehidupan manusia.

Kebanyakan produk di atas memiliki aturan ergonomi di luar standar. Tapi kenyataannya produk-produk tersebut tetap diminati, malah menjadi ikon. Jadi manakah yang lebih baik untuk mendesain suatu produk? Dominasi ergonomi, semantika, atau malah estetika? Tentu saja akhirnya dikembalikan lagi kepada selera dan kebutuhan masyarakat.

Gaya desain postmodern adalah gaya yang sangat ikonik. Masih banyak produk-produk bergaris desain postmodern yang dikenal sampai saat ini. Desain yang timeless, membuat masyarakat tidak mengira bahwa produk tersebut telah diproduksi sejak puluhan tahun yang lalu. Beberapa desainer kontemporer pun kerap menjadikan gaya postmodern sebagai inspirasi dan acuan.



DAFTAR PUSTAKA

Couturier, Elisabeth. 2010. Talk About Design. Paris: Flammarion.

Jencks, Charles A. 1989. The Language of Postmodern Architecture. London: Academic Edition.

Juniarto, Aloysius Baskoro. “Perjalanan Gaya Desain Produk Mebel di Indonesia.” Skala+, Vol. 06.2, Oktober-Desember 2011, h. 20-21.

Marizar, Eddy S. 2005. Designing Furniture. Yogyakarta: Media Pressindo.

Pheasant, Stephen. 1988. Body Space: Anthropometry, Ergonomics, and Design. New York: Taylor and Francis.

Sriwarno, Andar Bagus. 2011. Pengantar Studi Perancangan Fasilitas Duduk. Bandung: Penerbit ITB.

You Might Also Like

0 comments