London Design Biennale 2016

01:39

Tahun ini saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke London Design Biennale yang diselenggarakan pada tanggal 7 sampai 27 September 2016 di Somerset House, London. Saya sengaja menyempatkan diri datang dari Glasgow ke London karena penasaran dengan acara yang baru pertama kali diadakan ini karena biennale atau annual event di London sebagian besar hanya tentang seni saja. Gelaran London Design Biennale diinisiasi oleh beberapa museum dan organisasi desain dari seluruh dunia dengan sponsor Jaguar. Untuk melihat pameran, pengunjung dikenakan biaya seharga £10.

London Design Biennale 2016 mengambil tema Utopia, yang terinpirasi dari perayaan 500 tahun terbitnya buku Utopia karya Thomas More, seorang sastrawan Renaisans Inggris. Tema besar ini mengajak 37 tim desainer dari berbagai negara untuk menciptakan alternative future versinya masing-masing dan bagaimana desain dapat berkontribusi untuk menciptakan utopia tersebut dan mewujudkan masa depan yang lebih baik dari hari ini.

Sebagian besar karya di London Design Biennale berbentuk site specific installation, sehingga sebetulnya tidak jauh berbeda dengan pameran seni rupa. Contohnya karya berjudul Bliss dari Albania. Albania menghadirkan bongkahan-bongkahan besi yang dipoles halus sehingga distorsi lingkungan sekitar tercermin di permukaannya. Tujuan karya ini adalah menghadirkan tempat untuk refleksi diri sekaligus berinteraksi dengan orang-orang di sekitar melalui tempat duduknya yang dibuat mengitari cermin besar.



Spanyol mengimajinasikan Santander, sebuah pilot project smart city di Spanyol, dalam 100 tahun ke depan melalui instalasi berjudul VR Polis: Diving into the Future. Sebagai smart city, Santander memiliki banyak sensor di kotanya, baik untuk polusi, temperatur, bunyi, lampu jalanan, sampai kemacetan. Banyaknya sensor digambarkan sebagai sebuah lorong penuh benang yang dapat dimasuki oleh pengunjung. Di akhir lorong pengunjung akan menjumpai ruangan gelap. Di dalamnya pengunjung dapat mencoba kacamata yang menampilkan 360 degree virtual reality film. Sayangya saya tidak sempat menonton film dikarenakan antrian yang sangat panjang.



Banyak pula karya yang memiliki peran kontemplatif dan mengajak pengunjung untuk meningkatkan awareness terhadap suatu isu. Misalnya karya The Wish Machine dari Turki, sebuah pohon harapan kontemporer. Pengunjung dapat menulis harapan yang dimasukkan ke dalam sebuah tabung kaca , selanjutnya tabung dikirim melalui serangkaian pipa yang disusun menjadi sebuah terowongan heksagonal. Turki mengambil tema harapan sebagai respon akan isu refugee yang pergi mencari utopia ke negara-negara Eropa, termasuk Turki sebagai salah satu pusat penghubungnya.



Isu mengenai pengarsipan diinterpretasikan oleh Belanda dalam karya berupa instalasi interior ruangan berjudul Design Diorama: The Archive as Utopic Environment. Saat ini di dunia digital pengarsipan maupun kegiatan koleksi dalam bentuk fisik sudah mulai ditinggalkan. Padahal keberadaan artefak, dalam sebuah museum misalnya, masih diperlukan di masa kontemporer.



Meskipun begitu beberapa karya memiliki elemen desain yang cukup menonjol. Israel menampilkan Louder, speaker untuk kaum tunarungu. Suara musik ditransformasikan sedemikian rupa kedalam gerak visual dan getaran agar dapat dinikmati tanpa harus mendengar. Pengunjung dapat berdiri di atas papan kayu dan merasakan getarannya sambil melihat layar yang bergerak dinamis seiring alunan musik.



Di paviliun lain, Norwegia mengangkat tema inclusive design dalam karyanya yang berjudul Reaching for Utopia: Inclusive Design in Practice. Karya ini tidak menampilkan objek atau produk secara langsung tetapi menampilkan informasi visual mengenai praktik / proyek desain yang dilakukan di negaranya. Menurut tim desainer, utopia hanya bisa dicapai ketika seluruh manusia bisa menjalani kehidupan dengan nyaman, termasuk juga kaum berkebutuhan khusus (people-centered design),  dan bersinergi dengan lingkungan sekitarnya. Meskipun terkesan kurang menarik dibanding karya-karya lain yang 'megah', keunggulan karya ini adalah sudah diimplementasikan secara nyata di kehidupan sehari-hari.


Lain halnya dengan Afrika Selatan dan karyanya, Otium and Acedia, yang kental dengan nuansa desain produk industri. Meskipun dari segi estetis cukup playful, karya berupa hanging chaise lounge chair ini sangat fungsional. Bahkan saya dapat membayangkan produk dijual secara massal di showroom terkemuka. Namun bila diperhatikan dengan lebih detail visual kursi yang dibuat mirip boneka mengambil image binatang-binatang buas, sebagai tanggapan dari desainer akan sejarah bangsanya yang kelam serta mengajak pengguna untuk duduk dan berimajinasi dengan liar seperti saat kecil dulu.



Paviliun Rusia bisa dibilang sebagai paviliun yang sangat mengedepankan elemen desain dalam karyanya, namun pendekatan yang dilakukan lebih unik. Dalam karya Discovering Utopia: Lost Archives of Soviet Design, Rusia memamerkan ratusan foto-foto yang berasal dari arsip desain negara. Beberapa desain ini dianggap utopis karena terlalu progresif dan idealis dibandingkan dengan zamannya sehingga pada akhirnya tidak dapat diwujudkan. Arsip yang ditampilkan diperoleh dari sketsa, konsep, dan foto pengerjaan proyek desain di All-Union Soviet Institute of Technical Aesthetic (VNIITE) pada tahun 1960-an sampai 1980-an.



Beberapa negara mengangkat masalah perkotaan dan menafsirkan bagaimana urban design bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Misalnya China menjadikan kota Shenzhen sebagai studi kasus dan mengulasnya melalui karya Shenzhen: New Peak. Dalam 35 tahun terakhir, penduduk kota Shenzhen tumbuh dari 300 ribu jiwa menjadi 35 juta jiwa. Isu kependudukan ini membuat Shenzhen harus mempersiapkan kotanya sebagai mega cities dan menciptakan solusi akan sempitnya lahan tempat tinggal. Melalui desain ini Shenzhen menciptakan stand-alone human settlement yang berfungsi sebagai self-sustained communities, dalam artian tempat tinggal atau perumahan diperlakukan sebagai kota kecil yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan warganya.


Meksiko menggunakan pendekatan planologi / tata kota dalam karyanya, Border City. Tim desainer mencoba memecahkan isu penataan perbatasaan Meksiko dan Amerika Serikat yang berkaitan pula dengan isu imigrasi. Fernando Romero, desainer Border City, membuat prototipe model heksagon (sarang lebah) untuk pengembangan tata kota di negara berkembang yang selama ini belum pernah dicoba.  Menurutnya model heksagon lebih seimbang karena pusat heksagon tersebar di beberapa tempat sekaligus terbuka sehingga pengembangan lanjutan dapat dilakukan dengan mudah.



Bangga rasanya mengetahui bahwa Indonesia mendapat undangan untuk berpartisipasi dalam London Design Biennale. Berdasarkan pengalaman lalu dimana Indonesia seringkali tidak maksimal saat mengikuti acara internasional, pada awalnya saya cukup was-was dan tidak berekspektasi terlalu tinggi. Tapi ternyata ketika melihat pavilun Indonesia karya yang ditampilkan sangat bagus dan bisa bersaing dengan negara-negara lainnya. Indonesia mengambil tema Konferensi Asia Afrika di Bandung dengan hasil konferensi yang bisa dibilang sangat utopis pada masanya, yaitu membangun hubungan baik dan kerjasama antar negara. Tema ini dituangkan dalam karya Freedome berupa instalasi sabut kelapa yang disusun menyerupai candi Borobudur dan dilengkapi dengan artefak dan arsip-arsip yang mengingatkan akan peristiwa tersebut. Kinedrja tim desainer yang terdiri dari nama-nama yang sudah tidak asing lagi di dunia seni dan desain Indonesia seperti Adi Purnomo, Irwan Ahmett, Bagus Pandega, Diana Nazir, dan Hermawan Tanzil, patut diapresi.



Karya yang paling saya sukai dari pameran tahun ini adalah Utopia Means Elsewhere dari Jerman. Menurut saya ambience yang dibangun melalui desain interior ruangan sangat emosional. Secara teknis karya ini berusaha menghadirkan atmosfer, bukan objek tertentu. Pada ruangan pertama seluruh ruangan didesain putih bersih, kemudian ketika melangkah ke ruangan berikutnya pengunjung akan melihat visual api dan suara kayu terbakar yang memberikan nuansa gelap dan menakutkan. Di ruangan ini terdapat kursi agar pengunjung dapat duduk dan merefleksikan utopia versinya masing-masing. Kebanyakan orang akan menjawab utopia sebagai sesuatu yang asing dan bukan tempat mereka berada saat ini, entah itu negara, kota, atau tempat lainnya.



Saya juga sempat berdecak kagum begitu memasuki paviliun Pakistan dengan karyanya, Daalaan. Sebenarnya karya yang ditampilkan tidak terlalu istimewa, hanya kain sutra yang disablon dengan menggunakan hena dan kursi kayu yang dapat berputar, namun penataannya dibuat sangat apik dan indah. Sementara duduk di kursi kayu, pengunjung bisa berputar dan melihat kain-kain yang digantung di langit-langit. Kegiatan ini diharapkan dapat memunculkan interaksi antar pengunjung dan menghilangkan batasan sosial yang ada.



Karya favorit saya lainnya, yaitu Mezzing in Lebanon dari Lebanon ternyata mendapat penghargaan London Design Biennale Medal. Jika dilihat dari fotonya, orang sama sekali tidak akan menyangka bahwa foto diambil di London karena Lebanon berhasil membawa jalan di pinggir kota Beirut ke halaman Somerset House. Suasana pasar yang dihadirkan turut dihidupkan dengan para penjual yang berinteraksi bahkan menjual makanan khas Lebanon. Dengan karya ini, Lebanon berharap agar desain bisa turut melibatkan elemen-elemen yang sudah ada di masyarakat dan tidak sekedar terus-terusan membuat sesuatu yang baru.




Secara garis besar, berkunjung ke London Design Biennale sangat memanjakan mata. Sangat menarik ketika kita dapat melihat bagaimana berbagai negara merespon isu yang sama dengan hasil akhir yang berbeda-beda. Negara yang berpartisipasi pun sangat total, bisa dilihat dari karya-karyanya yang masiv. Semoga kesuksesan acara yang pertama dapat diteruskan dalam dua tahun ke depan.

***

Level, Austria

A Journey Around the Neighbourhood Globe, Jepang

A Journey Around the Neighbourhood Globe, Jepang

Water Machine, Arab Saudi

The Counterculture Room, Chile

Chakraview, India

Chakraview, India

The Immersion Room, Amerika Serikat

***

Foto.
Dokumen pribadi

You Might Also Like

2 comments

  1. bagus ul ulasannya. ditunggu utk pameran2

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih, udah diniatin sih harus dateng ke pameran-pameran besar seni dan desain selama disini. Semoga tercapai.

      Delete