Perbedaan Arts & Culture, Cultural Industries, dan Creative Industries

21:19

Sebelum melanjutkan postgraduate study di jurusan Creative Industries and Cultural Policy saya memutuskan untuk melakukan pre-reading kecil-kecilan terkait bidang yang akan saya dalami (daftar materi ada di bawah). Salah satu tujuannya adalah untuk menjawab kebingungan saya akan perbedaan istilah Arts and Heritage Culture / Seni dan Budaya Warisan, Cultural Industries / Industri Budaya, dan Creative Industries  / Industri Kreatif yang kerap muncul dalam berbagai tulisan.

Ternyata secara umum pergantian istilah ini bertujuan untuk mengakomodasi perkembangan zaman dan globalisasi yang turut mempengaruhi bidang kreatif, sehingga pada dasarnya dapat dikatakan bahwa benang merah ketiga istilah ini adalah sama. Meskipun begitu, dalam penerapannya pun masih kerap terjadi perdebatan dikarenakan beberapa penafsiran yang masih tumpang tindih.

Urgensi pergantian istilah di beberapa dekade terakhir adalah adanya bidang-bidang yang tidak terakomodasi pada pendefinisian dan pemetaan sektor sehingga akan berimplikasi pada pada ketidaksempurnaan UU Kebudayaan / cultural policy. Seperti yang kita ketahui, dalam hukum prinsip kejelasan / clarity yang mendetail adalah substansial.  Selain itu, di luar proses produksi karya yang dapat dikatakan sebagian besar kebijakannya tergantung pada produsen, terdapat pula proses distribusi, re-produksi, sampai eksibisi yang membutuhkan peraturan dan infrastruktur khusus karena sudah bersinggungan dengan masyarakat luas.

Diagram di bawah merupakan simplifikasi dari apa yang saya pelajari. Saya menganalogikan nilai-nilai inti dari setiap istilah dalam bentuk persentase. Mungkin masih kurang tepat mengingat saya belum melakukan penelitian spesifik, tapi setidaknya bisa memberikan gambaran agar tidak lagi terjadi kerancuan.

Perkembangan Istilah Industri Kreatif
(Sumber: ilustrasi pribadi)

Pada awalnya cultural policy dititikberatkan pada seni dan budaya. Budaya yang dimaksud disini pun adalah budaya warisan / heritage culture dari periode sebelumnya. Maka dari itu kebijakan yang dihasilkan banyak berkaitan dengan subsidi yang dialokasikan untuk preservasi, konservasi, dan restorasi karya. Contoh perwujudannya adalah dengan pembangunan museum, galeri, dan perpustakaan negara. Masyarakat belum begitu dikondisikan untuk menciptakan produk budaya baru, melainkan ditekankan untuk melestarikannya. Ciri dari karya yang dihasilkan adalah non utilitarian, yaitu bermakna simbolis, estetis, maupun hiburan / entertainment.

Masuknya kata industri dalam istilah industri budaya, mengindikasikan bahwa pemerintah telah memahami manfaat dari produk budaya dalam segi finansial atau ekonomi sekaligus menandakan keterlibatan korporasi sebagai salah satu pemegang keputusan / stakeholder. Pada masa ini pemerintah menyadari pentingnya komersialisasi dan komodifikasi bukan hanya karya seni tinggi / high art, tapi juga produk budaya massa populer / popular mass culture lainnya seperti film, penerbitan, dan musik.

Pemerintah ingin karya tidak hanya dinikmati golongan tertentu saja, terutama golongan kaya, tetapi untuk segala lapisan masyarakat / art for everyone. Akhirnya karya mulai diproduksi lewat medium yang dapat disebarluaskan secara masif misalnya lewat televisi, bioskop, atau kaset. Penyebaran secara luas  ini dipercaya dapat memperkuat identitas kebudayaan nasional dan regenerasi budaya urban, dimana masyarakat diarahkan untuk menciptakan karya maupun tren baru.

Meskipun sudah bercampur dengan kepentingan industri, ekspresi individu dalam industri budaya masih terasa kuat. Lain halnya dengan industri kreatif yang menitikberatkan pada kombinasi komersialitas karya / profit dengan fungsi serta teknologi dan inovasi. Ketika porsi fungsionalitas dalam suatu karya lebih dominan, seperti halnya karya mode, periklanan, dan arsitektur, bidang-bidang ini tidak lagi selaras dengan kriteria industri budaya. Ditambah lagi, banyak penemuan baru yang tumbuh pada periode ini, seperti digitalisasi konten yang mampu menekan biaya operasional. Tidak heran apabila kemudian di seluruh belahan dunia tumbuh ribuan start up digital.

Dengan kemajuan teknologi informasi itu pula, seringkali penyebaran karya mulai tidak terkendali dan menyebabkan pembajakan atau plagiarisme. Karena hal tersebut, HAKI / intellectual property law selalu menjadi wacana utama dalam rencana pengembangan industri kreatif di masa depan. Kini industri kreatif pun makin inklusif. Lapangan pekerjaan tidak hanya terbuka untuk pekerja kreatif / creative labour saja tapi juga pekerja non kreatif di industri kreatif. Misalnya saja sebuah perusahaan kreatif pasti memerlukan tenaga keuangan, kesekretariatan, atau teknisi.

Peta Global Industri Budaya dan Industri Kreatif
(Sumber: Cultural Times)

Lalu mengapa hanya istilah industri kreatif atau ekonomi kreatif yang populer di Indonesia? Tentu saja karena kebijakan terkait baru-baru ini saja diadopsi dari negara percontohannya, yaitu UK / Inggris. Kementerian Ekonomi Kreatif (dan Pariwisata) berdiri pada tahun 2011 dimana pada saat itu pergeseran ke arah istilah industri kreatif sudah lumrah digunakan. Namun jika kita mempelajari industri kreatif di negara-negara maju lainnya seperti UK, USA, atau Australia, kita dapat menelusuri sejarah perjalanan perubahan istilah ini dengan lebih mendalam. Di lain pihak, terkadang dalam beberapa penelitian istilah cultural and creative industries dapat digunakan secara berdampingan.

Terlepas dari perbedaan istilah di atas, semoga secara tidak langsung tulisan ini juga dapat menjelaskan mengapa diperlukan dua lembaga berbeda di Indonesia, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).

***

SUMBER.
Galloway, Susan & Dunlop, Stewart. (2007). A Critique of Definitions of the Cultural and Creative Industries in Public Policy. International Journal of Cultural Policy, 13(1), 17-29.
Garnham, Nicholas. (2005). From Cultural to Creative Industries. International Journal of Cultural Policy, 11(1), 15-28.
Hesmondhalgh, D. (2008). Cultural and Creative Industries.
Hesmondhalgh, D., & Pratt, A. C. (2005). Cultural Industries and Cultural Policy. International Journal of Cultural Policy, 11(1), 1-13.
O’Connor, Justin. (2011). The Cultural and Creative Industries: A Critical History. Ekonomiaz, 78, 25-44.

You Might Also Like

1 comments

  1. lebih ribetnya, tiap pelaku ekonomi dari 3 sub tersebut kemungkinan besar punya pengertian dan deskripsi yang berbeda beda terkait apa itu simbol/estetika/hiburan/inovasi/fungsi. akibat perbedaan pemahaman dan mungkin juga kepentingan dari tiap pelaku.hehe

    ReplyDelete