Mengenal Hallyu / Korean Wave

14:06

Pernahkah kamu berpikir, sejak kapan Korea Selatan (dalam tulisan ini disebut Korea) sepopuler sekarang? Mulai dari grup musik, drama TV, gadget, makanan, sampai wisata ke Korea Selatan kini sangat populer. Nilai pasar ekspor industri budaya Korea mencapai angka $10 miliar. Padahal rasanya 15 tahun lalu nama Korea tidak pernah terdengar sedikit pun. Transformasi Korea dari negara ‘bukan siapa-siapa’ menjadi negara maju ini yang diulas dengan lengkap oleh Euny Hong dalam buku Korean Cool.

Buku Korean Cool
(Sumber: Dokumen pribadi)

Euny Hong adalah seorang wanita keturunan Korea yang lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Amerika sebelum kembali ke Korea saat remaja. Dengan latar belakang lingkungan Barat dan Timur yang sangat bertolak belakang, ia dapat memotret peristiwa dengan kacamata yang unik. Ia pernah merasakan nyamannya hidup di Amerika (walaupun sering mendapat perlakuan rasis karena tidak seorang pun temannya tahu dimana Korea), culture shock saat kembali ke Korea, perjuangan Korea membangun industri budaya populer untuk bangkit dari krisis, sampai pada masa kejayaannya.

LATAR BELAKANG
Meskipun industri kreatif Indonesia berpedoman pada kebijakan industri kreatif Inggris, Indonesia perlu belajar banyak dari Korea karena statusnya yang sama-sama negara jajahan dan pernah menjadi bagian dari negara dunia ketiga. Perjalanan Korea hampir sama dengan Indonesia. Pada tahun 1910 sampai 1945 Korea masih bergulat dengan penjajahan Jepang. Bahkan pada tahun 1965 penghasilan per kapita Korea dilaporkan lebih rendah dari negara-negara di Afrika Selatan.

Korea pada tahun 1970an sampai 1980an pun dikenal xenophobia. Pemerintahnya menolak berbagai produk budaya asing termasuk musik dan drama. Sedangkan dalam bidang pendidikan, Euny Hong menggambarkan betapa buruknya tekanan akademis saat itu. Peraturan sangat ketat dan hukuman fisik menjadi hal yang lumrah. Anak-anak Korea hanya tahu belajar dan belajar.

Perubahan positif justru terjadi saat krisis keuangan Asia pada tahun 1996-1997. Saat itu pemerintah Korea mendapat pinjaman $75 Miliar dari Dana Moneter Internasional. Keputusan ini dianggap mengecewakan karena budaya ‘malu’ di Korea sangat kuat. Karenanya pemerintah mengerahkan segala upaya untuk melunasi hutang secara cepat.

Mengingat Korea tidak memiliki sumber daya alam yang unggul, Presiden Kim Daejung memutuskan untuk mengkomersilkan hallyu / korean wave, gelombang budaya populer Korea. Dengan hallyu Kim Daejung ingin meningkatkan soft power Korea di mata dunia. Strategi ini pun berhasil karena Korea dapat menlunasi hutang pada tahun 2001, tiga tahun lebih awal dari jatuh tempo. Pada perkembangannya perekonomian Korea kian menguat dan Korea bertransformasi menjadi negara maju. Lalu bagaimana pemerintah Korea dapat mengembangkan hallyu mulai dari nol?

KEBIJAKAN PEMERINTAH
Selain hutang dan kurangnya sumber daya alam, penduduk Korea juga tidak banyak, hanya 50 juta jiwa yang berarti daya konsumsi lemah. Jadi sedari awal hallyu sudah ditargetkan untuk diekspor. Tidak tanggung-tanggung target Korea adalah mengalahkan Jepang (Cool Japan) dan USA (Hollywood). Selain itu produk budaya populer tidak membutuhkan infrastruktur yang mahal, melainkan hanya membutuhkan waktu, bakat, dan keuletan. Pemerintah sangat yakin dengan strateginya karena sejak kecil warga Korea sudah terbiasa bekerja keras. Menurut saya ini adalah langkah yang sangat bagus karena menjadikan negaranya produktif, bukan konsumtif.

Dana untuk membiayai industri kreatif secara tidak langsung banyak didapatkan dari bangkitnya perusahaan swasta lokal seperti Samsung yang turut menyumbang dana budaya. Dana budaya campuran pemerintah dan swasta ini dikelola oleh KVIC Korea. Kini saking unggulnya Samsung, orang-orang sudah lupa bawa Samsung pernah dikenal sebagai samsuck. Pada tahun 1996 pemerintah Korea mewajibkan penggunaan jaringan CDMA daripada GSM sebagai langkah proteksi industri ponselnya. Ketika krisis semakin parah, Samsung melakukan revolusi dari analog ke digital. Samsung beranggapan bahwa kompetisi di ranah analog sudah tidak terkejar sedangkan masa depan dunia digital sangat menjanjikan. Samsung pun menargetkan untuk bisa mengalahkan Sony pada tahun 2001 dan ambisinya tercapai dalam waktu 1 tahun saja.

Seperti halnya kebijakan penggunaan CDMA, terdapat beberapa kebijakan pemerintah Korea yang tidak konvensional pada masanya. Bayangkan saja, di saat krisis pemerintah malah memasang koneksi internet 1GB di setiap rumah dan sekolah mulai dari SD sampai SMA. Menurut pemerintah perkembangan hallyu sangat tergantung pada koneksi internet cepat. Meskipun sudah dijelaskan, wajar apabila masyarakat awam tidak paham. Tentu saja ini bukan masalah besar karena dalam membuat kebijakan sebaiknya bukan berdasarkan masalah yang ada (problem oriented), tapi tujuan masa depan yang visioner (goal oriented). Kebijakan harus beyond yang bisa dibayangkan masyarakat saat itu dan manfaatnya bisa dibuktikan beberapa tahun ke depan.

Ada juga kebijakan kuota bioskop. Kebijakan ini bertujuan untuk menyeimbangkan jumlah film asing dan film Korea yang diputar di bioskop. Apabila ada bioskop yang nakal, harus siap jika hak bisnisnya dicabut pemerintah. Kebijakan ini juga berlaku untuk produsen film yang harus memproduksi satu film lokal untuk setiap film asing yang diekspor. Pada awalnya ketegasan pemerintah Korea memang dirasa berat, namun hal ini dibarengi kualitas film yang berangsur-angsur meningkat sampai pada akhirnya kebijakan kuota dinilai tidak lagi diperlukan karena selera masyarakat sudah beralih ke film lokal.

Strategi Ekonomi Kreatif Korea
(Sumber: www.english.msip.go.kr)

Bagi saya dukungan pemerintah Korea akan industri kreatif Korea sangat menggugah. Pemerintahnya benar-benar mengerahkan seluruh sumber daya finansial dan politik. Di negara lain belum tentu investasi untuk industri kreatif bisa dihargai karena prosesnya yang tidak instan. Saya salut karena mereka berani percaya bahwa industri ini akan menguntungkan. Strategi-strategi pengembangan lainnya dapat dilihat di website Kementerian Sains, TIK, dan Perencanaan Masa Depan yang didirikan pada tahun 2013.

PRODUK BUDAYA
Bisa ditebak bahwa produk yang paling dikenal dari hallyu adalah Korean Pop (K-Pop). K-Pop disukai karena menawarkan pengalaman musik secara menyeluruh mulai dari auditorial, visual (kostum, tari, tata panggung), dan konseptual (fisik CD collectible dengan berbagai poster, kedekatan dengan fanbase). Artis-artis K-Pop juga tidak oversexualized dan memiliki citra sebagai ‘anak baik-baik’ sehingga ramah diidolakan segala kalangan.



Di luar penampilannya, artis K-Pop juga dikenal akan etos kerjanya. Menurut standar Korea artis K-Pop harus melalui masa kontrak latihan selama lima sampai tujuh tahun sebelum tampil perdana di atas panggung. Malah G-Dragon, salah satu personil Big Bang, menjalani total pelatihan selama 11 tahun di dua manajemen berbeda (SM Entertainment dan YG). Sebuah dedikasi yang langka karena tidak semua orang mau menghabiskan 11 tahun hanya untuk latihan. Ditambah lagi mereka juga harus meninggalkan keluarga dan hidup bersama dengan teman satu grup-nya untuk membangun kekompakan. Orang asing sering menilai bahwa kontrak super ketat ini bisa disamakan dengan perbudakan modern, tapi secara kultural anak muda Korea sudah terbiasa dengan tekanan akademis dan disiplin ekstrem. Mereka paham bahwa untuk menjadi bintang butuh persiapan yang matang.

Setelah musik, drama Korea hadir untuk mempromosikan nilai, selera, dan gaya hidup Korea. Ciri khas dramanya yang menguras air mata justru membuat drama Korea standout di antara drama asing lainnya. Dalam drama Korea seringkali ditemukan tokoh yang menggunakan ponsel Samsung atau sepeda listrik Mando sehingga secara tidak langsung terselip pesan-pesan komersil. Lewat adegan makan pula akhirnya masyarakat mengenal makanan Korea yang sekarang mudah ditemukan dimana-mana. Lama-lama penghasilan industri pariwisata, kosmetik, dan bedah kecantikan pun ketularan meroket. Semua menjadi satu paket besar hallyu yang mewabah ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Berikut adalah beberapa sejarah perkembangan hallyu.

1996 Festival Film Internasional Busan diinisiasi, yang berdampak pada dikenalnya film Korea di kancah internasional
1997 MNET, grup K-Pop pertama Korea diluncurkan
1998 Empat film Korea diundang secara bersamaan ke Festival Film Cannes
2000 Debut Rain, penyanyi R&B Korea pertama yang meraih popularitas internasional
2002 Drama Winter Sonata memikat pemirsa internasional dan diputar di berbagai negara
2004 Film Oldboy mendapat penghargaan Grand Prix Cannes 2004
2011 Konser internasional K-Pop pertama di Paris, dibiayai pemerintah Korea dan SM Entertainment
2012 Video Gangnam Style membuat hampir semua orang merasakan hallyu dan menjadi video yang paling banyak ditonton di Youtube


***

Membaca kisah kebangkitan industri kreatif Korea bagi saya sangat heroik dan menginspirasi. Rasanya walaupun Indonesia sudah mendengungkan ekonomi kreatif sejak 2011 namun tindakannya belum ada yang seberani dan seambisius Korea. Mungkin karena masih banyak fokus bidang ekonomi lainnya yang sama-sama perlu diperbaiki. Belum lagi jika bicara tentang ketergantungan Indonesia akan budaya asing baik itu Barat, Korea, Jepang, atau Arab (di segi agama) yang rentan mematikan budaya lokal. Masih banyak yang harus dibenahi.

Saya juga salut dengan cita-cita luhur Korea untuk bangkit dan menolak ‘memuja’ penjajahnya, tapi ingin bisa melebihi melalui soft power. Walaupun seakan mustahil mereka tetap percaya akan kemampuan bangsanya dan melakukan yang terbaik dengan dukungan penuh dari berbagai pihak. Korea telah berhasil menaklukkan dunia dengan produk konsumsi dan pengaruh budayanya, bukan dengan perang dan kekerasan.

Berhubung saya bukan penikmat budaya Korea (saya cuma pernah mendengarkan Girls Generation), jika kamu punya pengalaman atau pemikiran mengenai hallyu, jangan ragu untuk berbagi di kolom komentar.

Girls Generation
(Sumber: www.soshified.com)

***

BUKU
Korean Cool; Strategi Inovatif Dibalik Ledakan Budaya Korea
Euny Hong
Penerbit Bentang
2016

DITERJEMAHKAN DARI
The Birth of Korean Cool
Euny Hong
Picador
2014

You Might Also Like

2 comments

  1. Bisa minta file bukunya mbak? pengen baca juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, buku versi terjemahan bisa didapatkan di Gramedia atau toko-toko buku lokal lainnya ya.

      Delete