Analisis Profil Alumni Desain Produk ITB dalam Relasinya dengan Pendidikan dan Keprofesian Desain Produk di Indonesia

22:33

ABSTRAK
Saat ini usia desain produk di Indonesia sudah mencapai 42 tahun. Desain Produk ITB sebagai institusi pendidikan desain produk pertama di Indonesia berperan besar dalam membentuk desainer produk Indonesia. Namun belum pernah dilakukan studi khusus mengenai profil alumni Desain Produk ITB. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana efektivitas sistem yang selama ini berjalan dan mengetahui timbal balik dari alumni yang sudah bekerja. Lebih jauh lagi dapat ditarik kaitannya dengan perkembangan institusi pendidikan desain produk yang mulai marak dan juga keprofesian desain produk yang masih belum banyak dipahami masyarakat umum.

PENDAHULUAN
Berkembangnya seni dan desain tentu saja tidak terlepas dari lembaga pendidikan terkait. Setiap tahunnya lembaga pendidikan mencetak lulusan-lulusan yang diharapkan dapat menjadi penggerak seni dan desain di masyarakat. Karenanya penelitian mengenai desainer dan institusi pendidikan desain tidak dapat dipisahkan. Pionir dari pendidikan desain produk di Indonesia adalah Institut Teknologi Bandung yang membuka program studi desain produk pada tahun 1972.

Cakupan desain produk sangat luas sehingga perlu dilakukan pengklasifikasian mengenai bagian-bagian apa saja yang termasuk dalam bidang desain produk. Pilihan profesi dari keilmuan desain produk pun tidak hanya sebagai desainer produk saja. Sampai saat ini masih belum dilakukan studi terkait alumni mengenai profil dan kaitannya dengan pendidikan atau keprofesian desain produk.

Penulis menggunakan pendekatan fenomenologis dalam penelitian. Fenomenologis merupakan salah satu cabang dari keilmuan filsafat yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl pada tahun 1900 lewat buku Logische Untersuchungen. Fenomenologis merupakan ilmu mengenai ada dan berada (wissenchaft des seins). Dalam praktiknya, penelitian berfungsi sebagai sarana memaparkan fenomena (penampakan) sebagaimana adanya melalui pengalaman kehidupan sehari-hari (lebenswelt). Tidak diperkenankan menyampaikan asumsi dan presuposisi sebelum memiliki data yang mendukung berupa pengalaman konkret.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan model teori bottom up, yaitu dimulai dari observasi pengalaman sehari-hari penulis sebagai mahasiswa Desain Produk ITB dan berkakhir dengan penjabaran fenomena mengenai karakter desainer produk lulusan ITB. Penelitian kualitatif dilakukan dengan tiga metode pengumpulan data, yaitu: observasi, survei, dan wawancara.

Mengingat banyaknya lulusan Desain Produk ITB, objek penelitian dibatasi sampai 8 tahun terakhir yaitu periode 2001-2008. Penelitian juga dibatasi untuk alumni yang masih memiliki keterkaitan profesi dengan desain produk, baik sebagai profesi utama maupun profesi sampingan. Dengan ini diharapkan penelitian akan lebih fokus sesuai dengan tujuan utamanya. Data survei diambil dari 50 responden alumni Desain Produk ITB angkatan 2001 – 2008.

Alumni Desain Produk ITB Angkatan 2001 - 2008 (Generasi Milenial)

PROFIL
Alumni Desain Produk ITB yang berprofesi sebagai desainer atau masih berkaitan dengan bidang desain didominasi oleh laki-laki sebanyak 62%. Selain sebagian besar mahasiswa Desain Produk ITB adalah laki-laki, perempuan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk tidak bekerja. Misalnya saja menjadi ibu rumah tangga.

Dominasi 54% responden berdomisili di Jawa Barat, khususnya Kota Bandung. Persebaran masih terpusat di Bandung dan Jakarta dengan jumlah persebaran di kota-kota lainnya cenderung merata, karena tidak ada perbedaan jumlah yang signifikan. Bandung menjadi kota yang paling banyak ditinggali oleh alumni Desain Produk ITB, sejalan dengan banyaknya alumni yang berprofesi sebagai wirausahawan.

Bandung merupakan kota yang cocok untuk pengembangan produksi, karena memiliki sumber daya (baik pengrajin maupun bahan) yang beragam. Bandung juga didukung dengan atmosfer kreatif yang kental, sehingga banyak pendatang dari luar kota memutuskan untuk tetap tinggal di Bandung seusai kuliah. Dalam blog Gustaff H. Iskandar (2008) diungkapkan bahwa British Council telah menetapkan Bandung sebagai proyek percontohan pengembangan kota kreatif se-Asia Pasifik dalam seminar International Education & Employability; Developing The Creative Industries yang dilaksanakan Oktober 2007 silam. Maka pengembangan ekonomi kreatif berbasis usaha kecil menengah (ukm) dan komunitas di di Bandung sepenuhnya didukung oleh pemerintah kota.

Sebanyak 72% responden berprofesi sebagai desainer yang bekerja pada biro desain atau perusahaan dengan penghasilan rata-rata 3 – 5 juta Rupiah per bulan. Jumlah ini hanya berselisih sedikit dengan upah minimum Kota Bandung, sebagai domisili utama responden penelitian, yaitu 2 juta Rupiah. Dalam pengolahannya data alumni yang berprofesi sebagai desainer masih tumpang tindih dengan data alumni yang berwirausaha, sehingga wirausaha menempati posisi paling dominan kedua. Kemudian sebanyak 62% responden masih memiliki profesi sampingan.

Taksonomi Profesi

Ketertarikan bukan menjadi alasan utama dalam memilih pekerjaan. Kebanyakan alumni masih mengalami kebingungan akan profesi yang akan diambil, karena dalam perkuliahan sendiri tidak terdapat spesialisasi. Akhirnya mereka menyesuaikan dengan lowongan kerja yang ada (bekerja di bawah orang lain) atau berwirausaha. Tempat kerja yang banyak dipilih adalah biro desain atau industri lokal, sedangkan alumni yang terjun langsung ke dunia industri manufaktur masih sangat sedikit.

Berdasarkan data-data yang diperoleh terlihat bahwa alumni yang fokus dengan satu produk atau permasalahan sejak kuliah masih sedikit. Kebanyakan dari mereka mengambil pekerjaan apa saja yang ada dan pada akhirnya ikut menyukai apa yang diolah pada pekerjaan tersebut. Ketertarikan saat kuliah tidak selalu dilanjutkan saat bekerja. Padahal menurut salah satu narasumber konsisten merupakan hal yang penting dalam berkarya. Dengan konsisten masyarakat dapat langsung mengidentifikasi seorang desainer dari karya-karyanya.

Dalam bekerja dengan orang lain, mereka memiliki keinginan untuk kembali belajar karena merasa ilmu yang diajarkan saat kuliah masih sangat kurang. Mereka dapat mempelajari teknis produksi lapangan, manajerial, sampai teknis pemasaran dari bekerja. Karena tujuan utamanya adalah untuk belajar, mereka jadi sering berpindah-pindah pekerjaan apabila ilmu yang didapat dirasa sudah cukup. Dengan berpindah pekerjaan, mereka beranggapan akan mendapat ilmu baru agar dapat terus berkembang. Hal ini terlihat dari durasi kerja yang dominan adalah selama 1 – 3 tahun saja yang dipilih 37% responden. Alasan-alasan lainnya seperti menginginkan gaji yang lebih besar dan bekerja untuk perusahaan dengan skala yang lebih besar turut menjadi pertimbangan.

Menurut salah satu narasumber, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih pekerjaan, yaitu: (1) how nice people there; (2) how much you can learn; dan (3) how much you can contribute, dimulai dari hal yang paling mendasar pada poin pertama. Jika dianalogikan dengan pernyataan sebelumnya, sebagian besar alumni hanya berhenti pada tahap kedua saja, sehingga terlihat belum banyak berkontribusi untuk tempat bekerjanya. Untuk dapat berkontribusi secara nyata tentu butuh waktu dan determinasi yang tinggi.

Pertimbangan Dalam Memilih Pekerjaan

Lingkungan kerja yang ideal (dalam kasus bekerja dengan orang lain) adalah ketika idealisme antara pribadi dan perusahaan sejalan. Misalnya ketika narasumber memiliki perhatian pada isu sosial ia bergerak pada perusahaan yang mengakomodasi kubutuhan kaum minor atau pada narasumber yang memilih tempat bekerja karena sama-sama menganggap penting isu lingkungan. Keuntungan lain bekerja pada perusahaan adalah tidak perlu multitasking karena sudah memiliki pembagian tugas yang jelas antar divisi sehingga bisa fokus dalam bekerja.

Sudah sewajarnya suatu perusahaan memiliki batasan-batasan dalam berkarya, dari kesesuaian dengan citra perusahaan sampai keterbatasan sarana kerja. Hal ini terkadang menjadi hambatan pada masa awal bekerja, meskipun pada akhirnya dapat beradaptasi. Maka sebagai bawahan, mereka ingin didengar dan merasa nyaman apabila dapat menyampaikan ide dan pendapat pribadi, bukan hanya sekedar mendesain berdasarkan ketentuan perusahaan saja. Hambatan lain yang sering dialami alumni Desain Produk ITB adalah kurang mengerti teknis produksi lapangan. Perusahaan juga kerap menekankan pada nilai-nilai ekonomi. Membuat produk yang menjual berbeda dengan apa yang didapatkan dalam perkuliahan, yaitu membuat produk ideal.

Wacana mengenai kreativitas turut mempengaruhi perekonomian dunia. Kreativitas berarti kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru (make something from nothing). Di abad ke-20 ini, Ekonomi Kreatif adalah sektor yang berkembang dan banyak meningkatkan perekonomian suatu negara secara keseluruhan. Ekonomi kreatif dapat bertahan walaupun krisis sedang berlangsung dimana-mana. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan John Howkins (2001) ditemukan bahwa ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. Hal ini sekaligus menandai dimulainya era ekonomi kreatif.

Maka saat ini banyak alumni Desain Produk ITB memilih untuk berwirausaha secara independen maupun bersama-sama. Alasan-alasan pemilihan berwirausaha sangat berkesinambungan. Menurut narasumber, Desain Produk ITB sangat menekankan pada konsep namun kurang menguasai hal-hal dasar dalam teknis produksi. Kurangnya skill membuat sebagaian alumni kurang memiliki ketertarikan atau justru tidak diterima apabila memutuskan untuk bekerja dalam industri. Kemudian untuk dapat bertahan mereka memutuskan untuk berwirausaha.

Hal ini juga sejalan dengan karakter generasi milenial yang banyak mendapat input positif mengenai wirausaha yang didukung juga dengan kemudahan era informasi (new wave technology). Berpromosi dan membuka toko tidak lagi menjadi hal mahal karena dapat dilakukan lewat media online secara gratis. Selain media online, curated market dan banyaknya concept store menjadi salah satu media pemasaran yang efektif.

Market Project pada Design Project 2014 Mewadahi Wirausaha Alumni

Melihat dari keadaan lingkungannya, generasi milenial adalah generasi yang terpapar kemudahan teknologi informasi dan komunikasi. William Deresiewics (2011) menyebut generasi milenial sebagai generation sell. Tentunya ini turut dipengaruhi berbagai kemudahan tersebut. Bahkan cultural hero dari generasi ini adalah entrepreneur, sebut saja Steve Jobs atau Mark Zuckenberg. Selain menjual dalam arti sebenarnya (produk atau jasa), generasi ini juga menjual diri sendiri lewat citra. Saat ini banyak sekali buku, tayangan televisi, maupun kegiatan yang menghadirkan Young CEO sebagai narasumbernya. Perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia yang sangat pesat pun turut menciptakan iklim wirausaha. Perkembangan wirausaha kreatif dan local brand diprediksi akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan.

Kecenderungan berkarya alumni masih ke arah produk-produk lifestyle yang lebih komersil dengan banyak channel penjualan seperti furnitur, tas, dan pakaian yang dipilih sebanyak 54% responden. Dari keseluruhan produk, produk yang paling dominan adalah furnitur dengan persebaran 20% responden. Produk-produk lifestyle seperti ini juga didukung oleh adanya kompetisi rutin dan media publikasi sehingga peminatnya lebih terarah. Dari sisi teknologi, yang paling diminati adalah desain sarana transportasi. Dengan mengolah produk-produk komersil, karya desainer lebih mudah diliput oleh media.

Fenomena yang marak beberapa dekade terakhir adalah munculnya desainer-desainer avant-garde atau high design yang diistilahkan Peter Domer (1990) sebagai designer star. Menurut Asmudjo Jono Irianto (2012) dalam sebuah pameran bertajuk Design/Art designer star ada dalam posisi above the line, yaitu desainer yang tampil ke permukaan dan dikenal publik. Berbeda dengan posisi below the line para desainer yang bekerja di bidang industri atau teknologi dan hanya produk-produknya yang sampai ke publik.

Artikel Emerging Indonesian Artists & Designers pada Majalah Elle Decor

Tidak heran jika kemudian para junior memiliki panutan tokoh-tokoh designer star (desainer yang sering menjadi bahan pemberitaan). Contohnya ada pada pemilihan furnitur sebagai keluaran desain yang paling dominan. Hal ini dikarenakan akses untuk mengenalkan desainer yang sukses dalam bidang konsultan, industri, teknologi, bahkan wirausaha masih lebih sedikit. Akhirnya junior memiliki ekspektasi berlebih mengenai hebatnya dunia desain seperti yang ditampilkan media, tanpa benar-benar mengetahui kerja keras tokoh-tokoh tersebut. Kecenderungan memilih produk-produk komersil juga sangat bertolak belakang dengan produk-produk yang dibuat saat kuliah dengan penekanan pada inovasi.

Sebagai salah satu biro desain yang banyak menjadi panutan desainer masa kini, metode desain IDEO dipilih 42% responden  sebagai metode desain yang paling banyak digunakan. Metode desain IDEO terdiri dari: Observation → Brainstorming → Rapid prototyping → Refining → Implementation. IDEO juga mempertimbangkan banyak aspek mulai dari manusia (disukai), bisnis (kelangsungan), dan teknis (kemungkinan dikerjakan). Metode ini dapat dikatakan yang paling baru diantara teori-teori lainnya dan paling mendekati metode design thinking yang menekankan pada inovasi.

Cukup banyak narasumber yang mengambil studi S2, yaitu sebesar 44%. Sebagian besar masih di bidang desain dan beberapa sudah mengambil jurusan yang spesifik seperti jewelry engineering, product service system design, dan architectural lighting design. Sayangnya jurusan-jurusan dengan spesialisasi khusus ini baru bisa didapatkan di institusi pendidikan luar negeri. Pertimbangan lokasi dan biaya menjadi alasan masih sedikit yang mengambil spesialisasi, sehingga ilmu yang dimiliki belum mengerucut. Beberapa jurusan lain (di luar desain) yang diambil merupakan jurusan yang dapat mendukung pekerjaan, seperti business administration dan transportation planning. Narasumber yang melanjutkan studi sampai jenjang S3 masih sangat sedikit. Hal ini tergolong wajar jika dilihat dari rentang usia narasumber. 

PENDIDIKAN
Pendidikan seni rupa dan desain di ITB menjadi pionir dari menjamurnya pendidikan desain saat ini. Tujuannya tetap sama, yaitu meningkatkan kualitas masyarakat lewat desain. Setiap tahunnya lahir lulusan-lulusan baru yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan masyarakat. Maka sudah seharusnya institusi pendidikan menjadi jembatan penghubung antara mahasiswa dan masyarakat.

Sampai tahun 2014 terhitung ada 15 institusi pendidikan desain produk di Indonesia yang tersebar di kota Bandung, Jakarta, Tangerang, Yogyakarta, dan Surabaya. Sebanyak 4 diantaranya tergolong sangat baru jika dilihat dari tahun berdirinya yaitu dalam kurun waktu 4 tahun terakhir seperti dapat dilihat pada gambar. Melihat pesatnya pertumbuhan program studi desain produk terutama di Jakarta, tidak menutup kemungkinan institusi pendidikan desain produk di Indonesia akan terus bertambah.

Institusi Pendidikan Desain Produk di Indonesia

Terdapat beberapa perbedaan dari 15 institusi pendidikan tersebut. Yang pertama adalah penamaan. Universitas Paramadina memberi nama desain produk industri kepada program studinya, sedangkan Universitas Surabaya dengan nama desain dan manajemen produk. Institusi pendidikan lainnya sepakat untuk memberi nama program studinya desain produk tanpa penambahan kata apapun.

Perbedaan yang kedua adalah penghimpunan dengan keilmuan serumpun dalam sebuah fakultas. Sebagian besar institusi pendidikan menghimpun desain produk dalam Fakultas Seni Rupa dan Desain. Universitas Pelita Harapan dengan School of Design memfokuskan diri pada pendidikan mengenai desain saja. Pendekatan sosial dan manajemen terlihat pada institusi pendidikan yang menempatkan desain produk di bawah fakultas industri kreatif. Selain itu cukup banyak yang melakukan pendekatan teknik kepada keilmuan desain produk, yaitu: Fakultas Arsitektur dan Desain Universitas Kristen Duta Wacana, Fakultas Teknik Perencanaan dan Desain Universitas Mercu Buana, Fakultas Teknologi dan Desain Universitas Pembangunan Jaya, dan Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya. Sisanya tidak memiliki fakultas tertentu dan menjadikan desain produk sebagai salah satu program studi pilihan yang berdiri sendiri.

Perbedaan Pengelompokan

Perbedaan pendekatan tentu menghasilkan pola pengajaran atau kurikulum yang berbeda pula. Kurikulum Desain Produk Institut Teknologi Bandung membagi beberapa topik berbeda pada mata kuliah studio. Misalnya Desain Produk IV mengenai komunitas dan Desain Produk V mengenai teknologi. Mahasiswa dibebaskan membuat produk sesuai minatnya masing-masing sesuai permasalahan yang diusung.

Berbeda dengan Desain Produk Universitas Pembangunan Jaya yang membagi mahasiswanya ke dalam 5 bidang spesialisasi, yaitu: fashion & lifestyle, interior & arsitektur, mainan, transportasi, dan teknologi informasi & komunikasi. Harapannya tentu saja agar mahasiswa bisa lebih fokus mendalami produk yang jadi peminatannya. Sistem peminatan ini juga dilakukan oleh Desain Produk Universitas Esa Unggul yang memiliki 2 bidang spesialisasi, yaitu: transportasi dan industri. Namun sampai saat ini belum dilakukan penelitian mengenai kurikulum mana yang lebih efektif.

Beberapa universitas  menganggap desain produk sangat dekat dengan desain interior, sehingga belum mendirikan jurusan desain produk tersendiri. Universitas Bina Nusantara malah memiliki jurusan yang sangat spesifik yaitu furniture design yang termasuk ke dalam School of Design. Terdapat juga short course (waktu belajar 2 tahun) dengan program desain produk di Raffles Institute of Higher Education.

Don Norman (2011) berpendapat bahwa di abad ke-21 ini kurikulum desain masih saja terjebak pada abad ke-20, kecuali dengan penambahan perangkat komputer. Untuk menguji validitas pernyataan tersebut dalam penelitian dilakukan wawancara mengenai kurikulum kepada narasumber.

Mata kuliah yang paling diingat oleh sebagian besar narasumber adalah studio, karena lewat mata kuliah tersebut mereka dapat berkarya. Tugas Akhir juga menjadi mata kuliah favorit karana mereka dapat fokus mengulik apa yang mereka sukai dan merupakan praktik studio secara keseluruhan. Beberapa materi perkuliahan lainnya yang tergolong aplikatif adalah manajemen pemasaran, semantika desain, ergonomi desain, dan pemodelan digital. Pada umumnya materi-materi perkuliahan desain produk sudah baik dan cukup lengkap untuk proses pembentukan seorang desainer, hanya perlu dioptimalisasi saja. Beberapa caranya adalah dengan kehadiran dosen secara penuh dan pengaplikasian mata kuliah teori secara nyata dalam keseharian.

Selain dari materi perkuliahan, narasumber mengatakan proses kuliah desain produk lebih berperan dalam membentuk pola pikir desain secara keseluruhan. Pola pikir ini sangat membantu dan pada kenyataannya dapat diterapkan ke dalam berbagai aspek pekerjaan. Tidak heran apabila bermunculan kiat-kiat mengenai bagaimana berpikir seperti desainer atau yang lebih dikenal dengan istilah design thinking. Proses-proses design thinking ini yang telah diajarkan dalam perkuliahan seperti mencari referensi, merencanakan konsep, survey pengguna, menggambar sketsa alternatif, membuat model dan prototipe, sampai membuat produk jadi dan evaluasi.

Salah satu pendiri IDEO, Tim Brown (2008) mengatakan bahwa design thinking adalah sebuah metodologi untuk menciptakan ide-ide baru (generate new idea). Design thinking berkonsentrasi pada inovasi dan penyesuaian dengan kebutuhan manusia (human-centered). Tujuannya adalah membuat ide-ide yang memang sesuai dengan kebutuhan, bukan ide yang dipaksa untuk disesuaikan. Secara singkat proses design thinking terdiri dari inspiration, ideation, dan implementation.

Namun Bruce Nussbaum (2011) berpendapat bahwa design thinking is a failed experiment dan ia lebih menekankan pada creative quotient. Kreativitas adalah kemampuan orisinil yang ingin dituju dari proses design thinking, mengingat kreativitas lebih dulu ditemukan dari desain. Apapun istilahnya, menurut narasumber lingkungan perkuliahan desain produk sangat mendukung proses perangsangan kreativitas dan ide.

Setelah merasakan proses kerja dan kuliah, narasumber merasakan perbedaan yang sangat besar. Dari beberapa saran narasumber mengenai mata kuliah yang seharusnya diajarkan pada proses perkuliahan, sebagian besar mengarah pada proses pasca desain. Kuliah dinilai sudah cukup mengajarkan bagaimana proses pengembangan produk dari mulai konsep sampai prototipe, tapi apa yang harus dilakukan setelah produk selesai? Urgensi pertanyaan ini baru dirasakan setelah bekerja.

Proses pasca desain diantaranya adalah mengaplikasikan sampai produk benar-benar digunakan oleh target pengguna, publikasi, pengurusan HAKI, sampai menjual kepada calon pembeli atau perusahaan yang berminat untuk memproduksi. Perlu praktik nyata agar setelah produk-produk karya mahasiswa selesai dinilai tidak ditinggalkan begitu saja, melainkan berkelanjutan. Sama halnya dengan Tugas Akhir. Beberapa menyatakan Tugas Akhir berhenti sampai sidang, sedangkan beberapa sempat mempublikasikan Tugas Akhir bahkan sampai mendapat penghargaan. Hal-hal seperti ini yang harus terus digencarkan.

Perlu dipahami bahwa tanggung jawab desainer tidak berhenti sampai mendesain saja. Proses ini juga merupakan pendekatan desain sebagai keilmuan yang menyeluruh (holistik) dan sebagai salah satu upaya pengenalan penerapan desain dalam industri sebenarnya. Jika memungkinkan produk-produk yang didesain semasa kuliah dapat terus dikembangkan di kemudian hari.

Lalu apakah semua lulusan desain produk harus menjadi desainer? Melalui penelitian ditemukan bahwa terdapat beberapa alumni yang memiliki beberapa pekerjaan terkait desain diluar profesi desainer, seperti: konsultan, tim research & development, dan production manager. Dengan adanya ketertarikan tersebut ada baiknya pendidikan turut mengakomodasi kegiatan riset atau penelitian. Riset tidak harus membuat teori atau karya baru, tapi bisa juga mengulas karya-karya desain yang sudah ada.

Sebagian besar alumni masih mendesain produk sedangkan sisanya menawarkan jasa desain. Sampai saat ini belum ada yang mendalami kajian secara khusus. Hal ini bisa jadi dikarenakan kurang terfasilitasinya kegiatan pengkajian pada institusi pendidikan. Padahal tidak semua yang memiliki ketertarikan pada bidang desain harus berkarya, melainkan bisa juga menjadi pengamat dan peneliti. Contoh beberapa jurusan terkait kajian desain yang dapat ditemukan di luar negeri adalah: strategic design & management, design studies, design business, dan design journalism.

Melihat pesatnya pertumbuhan institusi pendidikan yang menawarkan program studi desain produk di Indonesia, ada baiknya dilakukan pembagian spesialisasi. Dulu ketika institusi pendidikan desain produk masih minim tentu dapat mengakomodasi seluruh calon mahasiswa yang memiliki minat tersebut, namun kini setelah semakin banyak pilihan calon mahasiswa harus dapat memilih institusi pendidikan mana yang memiliki bidang sesuai ketertarikannya.

Kebutuhan akan spesialisasi ini turut disampaikan oleh narasumber. Ketika bekerja, banyak alumni yang harus mengulang belajar dari awal sesuai bidang kerjanya atau malah kebingungan harus mengambil bidang pekerjaan apa karena belum fokus. Ada pula saran untuk bekerjasama dengan universitas di luar negeri yang memiliki spesialisasi sejenis dalam bentuk program transfer mahasiswa. Dengan program ini mahasiswa dapat langsung melanjutkan studi master atau malah menyelesaikan studi sarjana di universitas luar negeri.

Imam Buchori (2005) dalam Simposium Internasional Ilmu Desain di ITB menyampaikan bahwa sudah selayaknya desain dibagi menjadi industrial design (berbasis industri manufaktur) dan engineering design (berbasis teknologi). Dengan melihat perkembangan desain produk saat ini, ada pula tendensi untuk menambahkan craft design (berbasis kerajinan dan nilai-nilai lokal). Dari ketiga pendekatan tersebut, institusi pendidikan desain produk harus dapat menentukan arah desain produk seperti apa yang dituju.

Pada intinya narasumber merasa ada missing link antara kuliah dan kerja yang perlu dicari penghubungnya. Solusi dari masalah tersebut adalah mendekatkan dunia kerja kepada mahasiswa. Cara yang dilakukan bisa dengan study tour, kerjasama dengan salah satu industri, atau mengundang dosen tamu berupa praktisi desain. Desain produk juga perlu mengintensifkan kerjasama dengan disiplin ilmu lain. Saran lainnya yang diberikan narasumber adalah perlu membangun kedekatan antara mahasiswa dan dosen karena saat ini dirasa masih sangat kurang.

KEPROFESIAN
Saat ini pemerintah sudah sangat mendukung perkembangan desain produk. Desain produk masuk ke dalam Rencana Kerja Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Rencana pengembangan ekonomi kreatif Indonesia dicanangkan sampai 11 tahun ke depan, yaitu tahun 2025. Menurut Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Ekonomi Kreatif, ekonomi kreatif Indonesia dikelompokkan menjadi: (1) arsitektur; (2) desain; (3) fesyen; (4) film, video, dan fotografi; (5) kerajinan; (6) musik; (7) pasar seni dan barang antik; (8) penerbitan dan percetakan; (9) periklanan; (10) permainan interaktif; (11) penelitian dan pengembangan; (12) seni pertunjukan; (13) teknologi informasi dan piranti lunak; (14) televisi dan radio; dan (15) kuliner.

Desain termasuk ke dalam salah satu kelompok ekonomi kreatif, yang berarti kapasitas keilmuan dan keprofesian desain sudah diakui oleh pemerintah. Poin desain disini kemudian dibagi kembali menjadi: (1) Desain Komunikasi Visual; (2) Desain Produk; dan (3) Desain Interior. Visi pengembangan ekonomi kreatif Indonesia hingga tahun 2025 adalah, “Bangsa Indonesia yang berkualitas hidup dan bercitra kreatif di mata dunia.” Untuk mencapai visi tersebut didapatkan beberapa misi yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam penguatan pondasi pilar dalam waktu yang lebih singkat, yaitu sampai tahun 2014.

Sarana untuk perlindungan HAKI pun sudah tersedia, hanya perlu disosialisasikan lagi. Kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, memiliki perjanjian internasional khusus mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Agreement on Trade Relates Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Perjanjian tersebut menyebutkan bahwa HAKI terdiri dari: (1) hak cipta dan hak terkait; (2) merk dagang; (3) indikasi geografis; (4) desain industri; (5) paten; (6) tata letak sirkuit terpadu; (7) perlindungan informasi rahasia; dan (8) kontrol terhadap praktek persaingan usaha tidak sehat dalam perjanjian lisensi.

Peraturan HAKI mengenai desain produk ada pada bagian Desain Industri. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa, “Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.” Klasifikasi produk yang diajukan disesuaikan dengan klasifikasi pada Locarno Agreement. Desain produk memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan kualitas dan mengembangkan keprofesiannya.

Hak Desain Industri berlaku untuk jangka waktu 10 tahun. Dalam waktu tersebut apabila desain digunakan oleh pihak lain dan diadukan, pihak tersebut dapat dikenakan hukuman pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda maksimal Rp 300.000.000,00. Menurut data Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sampai saat ini baru 26 Hak Desain Industri yang sudah terdaftar. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan banyaknya karya desain yang dihasilkan.

Setiap desainer produk sudah seharusnya memahami Hak Desain Industri. Selain untuk menjaga orisinalitas desain, desainer juga perlu mengetahui desain-desain apa saja yang sudah pernah diajukan agar tidak terjadi plagiarisme walaupun tanpa disengaja. Perlu diingat juga bahwa Hak Desain Industri diberikan kepadak pihak yang pertama mengajukan, bukan pihak yang pertama membuat. Apabila terjadi kasus desain yang dibuat seorang desainer telah diajukan pihak lain dan desainer tidak dapat menunjukkan bukti kuat, Hak Desain Industri tetap dipegang oleh pihak tersebut.

Sejauh ini pendapat narasumber mengarah pada belum siapnya industri di Indonesia untuk menghargai peran desainer. Daya serap industri di Indonesia untuk pekerjaan terkait desain produk masih sedikit. Sebetulnya, perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan jasa desainer, namun seringkali kesadaran desain masih kurang dan tidak menganggap desain sebagai elemen penting dalam membangun perusahaan. Gaji desainer pun tergolong kecil (hanya sedikit di atas upah minimum rata-rata) dan belum memiliki jenjang karir yang jelas. Dampaknya apabila seorang desainer ingin berkembang, ia memiliki kecenderungan untuk mencari pekerjaan baru.

Perlu dilakukan sosialisasi secara mendalam mengenai dampak positif desain, yang sangat baik untuk leverage perusahaan. Kampanye mengenai hal ini pernah dilakukan oleh Design Council dalam video The Value of Design. Design Council ingin menyampaikan bahwa setiap dana yang dikeluarkan untuk proses desain, walaupun mahal, akan meningkatkan pendapatan perusahaan berkali-kali lipat. Desain adalah sebuah investasi.

Video Kampanye The Value of Design oleh Design Council

Untuk menjadi seorang desainer profesional, dibutuhkan suatu sertifikasi khusus. Bidang teknik dan arsitektur telah lama menggunakan Surat Keterangan Ahli (SKA) sebagai standar keprofesiannya. Pada perkembangannya Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII) turut menerima pengurusan SKA Desainer Interior khusus anggotanya. Dalam SKA terdapat pembagian berdasarkan pengalaman kerja dan proyek yang pernah ditangani yaitu: ahli muda, ahli madya, dan ahli utama. Dengan SKA keprofesionalitasan seorang desainer terjamin dan akan lebih mudah saat menangani proyek-proyek pemerintahan.

Beberapa narasumber menyatakan kebutuhan akan asosiasi. Kebutuhan ini didasari akan keinginan akan lembaga khusus yang mengurus keprofesian, agar desain produk lebih diakui. Asosiasi penting untuk membangun branding desain produk di Indonesia. Asosiasi juga dapat mengakomodasi adanya dialog antar desainer dengan berbagai latar belakang yang akhirnya dapat memperluas networking. Beberapa asosiasi terkait desain produk di Indonesia adalah: Asosiasi Desainer Produk Indonesia (ADPI); Product Design Focus (PDF); Himpunan Mahasiswa Desain Produk Anak Negeri (HADEPAN); Himpunan Desainer Mebel Indonesia (HDMI); dan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI).

Kesulitan dalam mengelola ADPI, sebagai organisasi keprofesian utama desain produk, adalah cakupannya yang sangat luas. Berbeda dengan HDMI (mebel) atau AMKRI (mebel dan kerajinan) dengan lingkup yang lebih sempit sehingga lebih mudah menyamakan visi misi asosiasi. Perlu dipertimbangkan pula untuk membentuk asosiasi secara spesifik agar manfaat yang dirasakan anggotanya lebih maksimal, misalnya saja asosiasi desainer alas kaki atau asosiasi desainer otomotif.

Permasalahan lainnya adalah mencari data berupa konten lokal terkait desain produk saat ini masih sangat sulit. Akhirnya sebagian besar data-data mengenai desain produk diperoleh dari artikel-artikel luar negeri, yang mungkin relevansinya akan berkurang apabila diterapkan pada kondisi di Indonesia. Jurnal dan hasil penelitian belum dipublikasikan untuk masyarakat umum dan aksesnya terbatas. Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Kristen Maranatha pernah melakukan terobosan dengan membuat buku kumpulan hasil karya mahasiswa yang dijual di beberapa toko buku dalam rangka kegiatan Hajad Jagad 2013. Langkah ini sangat baik dan dapat dicontoh oleh institusi pendidikan lainnya, sebagai artefak dari proses pendidikan.

Dokumentasi dan pengarsipan data-data desain maupun desainer dapat dibantu melalui media dan asosiasi. Apalagi saat ini mengolah arsip dalam bentuk digital sangat mudah. Dengan dokumentasi dan pengarsipan yang baik, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita untuk memiliki Museum Desain Nasional. Sejarah desain Indonesia serta produk-produk ikonik pada suatu era tidak lagi tercecer tanpa pernah diketahui generasi selanjutnya.

Untuk essay lengkap silakan unduh disini. Jangan lupa sertakan citasi apabila Anda menggunakan tulisan saya.
Wiradarmo, Aulia Ardista. (2014). Analisis Profil Alumni Desain Produk ITB dalam Relasiya dengan Pendidikan dan Keprofesian Desain Produk di Indonesia. Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain, 1

You Might Also Like

3 comments

  1. Thanks banget, kak! Infonya cukup bermanfaat.
    Aku lagi cari jurusan kuliah yang tepat. Menurut kakak apa jurusan desain produk cukup menjanjikan?

    ReplyDelete
  2. Thanks banget, kak! Infonya cukup bermanfaat.
    Aku lagi cari jurusan kuliah yang tepat. Menurut kakak apa jurusan desain produk cukup menjanjikan?

    ReplyDelete